Opini : Pandangan Hukum Dalam Seputar Undang – Undang Pers
Oleh : Andi Rachmanto,
Penulis merupakan Praktisi Hukum / Advokat (managing partner pada Maha Patih Law Office) yang juga alumni LASMI (Lembaga Supremasi Media Indonesia) angkatan IV.
Hukum sejatinya adalah pedoman yang dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tercipta keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan bersama. Dalam bentuknya yang paling dasar, hukum adalah serangkaian aturan yang dirancang untuk mengatur perilaku manusia dengan sanksi yang jelas bagi pelanggarannya. Namun, sering kali, yang membuat hukum tampak rumit bukanlah isinya, melainkan cara kita menafsirkan dan menerapkannya.
Sederhananya Hukum
Hukum umumnya memiliki unsur-unsur yang jelas, yaitu norma, sanksi, dan tujuan yang ingin dicapai. Contoh sederhana adalah aturan lalu lintas: lampu merah berarti berhenti, lampu hijau berarti jalan. Aturan ini tidak membutuhkan pemahaman yang mendalam untuk ditaati, karena dirancang sederhana dan dapat diterapkan langsung oleh siapa saja.
Dalam sistem hukum yang lebih luas, seperti hukum pidana atau perdata, prinsip-prinsip dasar seperti “setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum terbukti bersalah” atau “setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak” juga mencerminkan kesederhanaan hukum sebagai pedoman kehidupan bersama.
Penafsiran yang Berlebih
Kesederhanaan hukum sering kali menjadi kabur ketika memasuki ranah penafsiran. Penafsiran hukum, yang seharusnya bertujuan untuk menyesuaikan aturan dengan konteks situasi tertentu, terkadang justru menjadi arena perdebatan yang berlarut-larut. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan yakni : Perbedaan Sudut Pandang, Bahasa Hukum yang Kompleks, Kepentingan Tertentu, dan lain sebagainya.
Beberapa Contoh Penafsiran yang mengundang Polemik.
Perkara terkait Jurnalis Asrul yang terjadi di Palopo – Sulawesi Selatan pada 2021 silam, yakni :
Proses hukumnya oleh khalayak dinilai bertentangan dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, terlebih setelah keluarnya Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers No. 187/DP-K/III/2020, yang menyimpulkan karya Muhammad Asrul merupakan produk jurnalistik. Akan tetapi proses hukum terus berjalan meskipun dengan vonis yang jauh dari tuntutan, hal tersebut banyak khalayak berpersepsi merupakan pencideraan kemerdekaan Pers.
Beda tafsir antara JPU dan Majelis Hakim, yang mana pihak Jaksa menyatakan berita yang dimuat Asrul bukan kategori berita pers. JPU beralasan perusahaan yang diklaim sebagai PT / badan hukum tempat Asrul bekerja baru disahkan sebagai perusahaan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) pada 13 Mei 2019 untuk mendaftarkan secara daring ke Dewan Pers, dan perusahaan tempat Asrul bekerja belum terverifikasi oleh Dewan Pers pada saat berita dibuat.
Namun dalam pertimbangan hukumnya majelis Hakim beranggapan perusahaan tempat Asrul bekerja tetap merupakan media sebagaimana diatur dalam UU Pers meski belum terverifikasi di Dewan Pers. Verifikasi merupakan bagian dari komitmen perusahaan Pers yang bersedia meratifikasi Peraturan Dewan Pers dan melaksanakannya yakni Standar Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Perlindungan Wartawan. Majelis hakim juga mengamini status Asrul sebagai wartawan meski belum mengantongi sertifikasi kompetensi wartawan. Dalam pertimbangannya, sertifikasi sama halnya verifikasi perusahaan pers yang dibuat untuk meningkatkan profesionalisme wartawan melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik .
Adapun terkait vonis yang dijatuhkan kepada Asrul, majelis hakim mempertimbangkan proses yang telah ditempuh korban dengan meminta hak jawab dan hak koreksi kepada media bersangkutan, namun dianggap tidak ditanggapi secara patut.
Dalam hal ini penulis hanya ingin menyampaikan bahwasanya terdapat perbedaan penafsiran dari pengejewantahan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dengan UU ITE itu sendiri terlebih apabila mengacu terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) pedoman penerapan UU ITE.
Hal yang tak kalah pentingnya juga yakni terhadap penafsiran legitimasi ‘wartawan’ serta ‘perusahaan pers’ menurut Undang – Undang, masih banyak pihak yang salah menafsirkan antara sertifikasi dan legitimasi terlebih lisensi.
Sebenarnya sangatlah sederhana, semua mengacu kepada Undang – Undang Pers itu sendiri. Apa itu wartawan yakni orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik, apa itu perusahaan pers yakni badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers.
Apabila dikorelasikan lagi terhadap peraturan Dewan Pers terkait Sertifikasi Nomor : 1/Peraturan-DP/II/2010 yang telah diperbarui pada peraturan Nomor : 1/Peraturan-DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan peraturan Dewan Pers terkait verifikasi perusahaan pers Nomor : 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Hal sebagaimana dimaksud jelas memiliki demarkasi yang jauh berbeda, terlebih makna yang berbeda pula.
Terkadang rasionalisasi kita terjebak pada aturan positif, tanpa melakukan penelaahan lebih mendalam terhadap Undang Undang diatasnya. Yang pada intinya apakah untuk menjadi wartawan harus bersertifikasi?, dan sebagai perusahaan pers harus terverifikasi? jawabannya Tidak, karena Undang – Undangnya berkata demikian. Lantas timbul pertanyaan, apakah wartawan memiliki lisensi?, jawabannya Tidak. Karena wartawan/jurnalis merupakan profesi yang mana sebagai Subjek Hukum, beda halnya dengan sebuah barang/produk atau Objek Hukum yang mana bisa terikat dengan lisensi (pemberian izin).
Untuk meminimalisir timbulnya polemik dalam penegakan hukum khususnya seputar Pers maka Komisi Yudisial melakukan workshop bersama beberapa Organisasi Wartawan pada 18 – 20 Oktober 2018 dengan melahirkan nota kesepemahaman yakni Sengketa Pers Harus Lalui Mekanisme Dewan Pers.
Senada dengan hal tersebut Wakapolri pada Rabu 7 Pebruari 2024 mengeluarkan statement bahwasanya “Produk Jurnalistik Yang Sah Tidak Dapat Dipidanakan”, pada saat acara ramah tamah dengan media.
Untuk mengembalikan kesederhanaan hukum beserta penafsirannnya diperlukan kejernihan hati (tanpa tendensi, tanpa kepentingan, dan tanpa embel – embel apapun) sehingga membuahkan pemikiran yang bersih pula.
Mengutip dari buku House of Glass oleh Pramudya Ananta Toer yakni secara sederhana pula dapat kita artikan : “Bahwa sejatinya kehidupan itu sangat sederhana. Hanya saja tafsir manusia yang seolah-olah membuatnya rumit. Akan tetapi bilamana dipahami pokok dasar kehidupan, maka akan didapati kenyataan jika ternyata sebenarnya hanyalah suatu yang sederhana saja”.
Penutup
Hukum sebenarnya adalah alat yang sederhana untuk menciptakan tatanan kehidupan yang adil. Namun, penafsiran yang berlebihan sering kali menjadi penghalang tercapainya tujuan tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara memahami hukum secara mendalam dan menerapkannya secara sederhana. Pada akhirnya, hukum yang sederhana, adil, dan konsisten adalah fondasi utama dari masyarakat yang damai dan sejahtera.
Catatan :
Opini / Karya Tulis ini dibuat oleh penulis hanya sebagai tambahan literasi terhadap pemahaman seputar topik terkait, dan tidak bertujuan selain halmana dimaksud.